Penggunaan berbagai jenis tes di madrasah banyak mengundang reaksi
dari berbagai kalangan, baik dari guru, peserta didik maupun dari orang tua.
Para guru banyak berpendapat bahwa bentuk uraian memang banyak digunakan karena
membuat soalnya relatif lebih mudah, tetapi sulit melakukan penyekoran, lebih
bersifat subjektif, dan tidak adil. Oleh sebab itu, guru banyak menggunakan
bentuk objektif bentuk melengkapi dan jawaban singkat. Dikalangan peserta didik
juga sering terjadi pandangan yang berbeda. Ada peserta didik yang menganggap
bentuk uraian lebih sulit dibandingkan dengan bentuk objektif tetapi ketika
mereka dihadapkan pada soal uraian cara belajar mereka sama saja. Orang tua
juga berpendapat sebaiknya bentuk soal yang digunakan di madrasah adalah bentuk
objektif karena bentuk uraian lebih sulit. Benarkah bentuk uraian lebih sulit ?
Dalam uraian materi berikut ini akan dikemukakan konsep bentuk uraian berikut
dengan cara pemberian skor yang adil dan objektif.
Setelah mempelajari kegiatan belajar 1 ini, Anda diharapkan dapat
:
1. Menyebutkan pengertian tes
2. Menjelaskan kegunaan tes
3. Menyebutkan jenis tes menurut bidang psikologi
4. Menyebutkan dua syarat pokok tes standar
5. Menjelaskan pengertian metode silang
6. Membedakan antara point method dengan sorting
method
7. Menjelaskan kelebihan tes bentuk uraian
8. Menyebutkan dua cara untuk menganalisis soal bentuk
uraian
9. Menjelaskan teknik penyekoran bentuk uraian objektif
10.Menjelaskan
teknik penyekoran bentuk uraian non-objektif
A. Jenis Tes
Tes merupakan suatu
teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran,
yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau serangkaian tugas
yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk mengukur aspek
perilaku peserta didik. Dalam rumusan ini terdapat beberapa unsur penting,
yaitu :
Pertama, tes merupakan suatu
cara atau teknik yang disusun secara sistematis dan digunakan dalam rangka
kegiatan pengukuran.
Kedua, di dalam tes terdapat
berbagai pertanyaan dan pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dijawab
dan dikerjakan oleh peserta didik.
Ketiga, tes digunakan untuk
mengukur suatu aspek perilaku peserta didik.
Keempat, hasil tes peserta
didik perlu diberi skor dan nilai.
Tes dapat dibedakan atas beberapa jenis, dan pembagian jenis-jenis
ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Heaton (1988), misalnya,
membagi tes menjadi empat bagian, yaitu tes prestasi belajar (achievement
test), tes penguasaan (proficiency test), tes bakat (aptitude
test), dan tes diagnostik (diagnostic test). Untuk melengkapi
pembagian jenis tes tersebut, Brown (2004) menambahkan satu jenis tes lagi yang
disebut tes penempatan (placement test). Dalam bidang psikologi, tes
dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu :
1. Tes intelegensia umum, yaitu tes untuk
mengukur kemampuan umum seseorang.
2. Tes kemampuan khusus, yaitu tes untuk
mengukur kemampuan potensial dalam bidang tertentu.
3. Tes prestasi belajar, yaitu tes untuk
mengukur kemampuan aktual sebagai hasil belajar.
4. Tes kepribadian, yaitu tes untuk mengukur
karakteristik pribadi seseorang.
Berdasarkan jumlah peserta didik, tes hasil belajar dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu tes kelompok dan tes perorangan. Tes kelompok,
yaitu tes yang diadakan secara kelompok. Disini guru akan berhadapan dengan
sekelompok peserta didik. Tes perorangan yaitu tes yang dilakukan secara
perorangan (individual). Disini guru akan berhadapan dengan seorang peserta
didik.
Dilihat dari cara
penyusunannya, tes dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :
1. Tes Buatan Guru (teacher-made test)
Tes buatan guru adalah
tes yang disusun sendiri oleh guru yang akan mempergunakan tes tersebut. Tes
ini biasanya digunakan untuk ulangan harian, formatif, dan ulangan umum
(sumatif). Tes buatan guru ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan
peserta didik terhadap materi pelajaran yang sudah disampaikan. Untuk itu, Anda
harus membuat soal secara logis dan rasional mengenai pokok-pokok materi apa
saja yang patut dan seharusnya ditanyakan sebagai bahan pengetahuan penting
untuk diketahui dan dipahami oleh peserta didiknya. Kualitas tes atau tingkat
kesahihan dan keandalannya masih belum menjamin keobjektifannya, sebab hanya
diberikan kepada sekelompok peserta didik, kelas, dan madrasah tertentu saja. Jadi,
masih bersifat sektoral, karena belum diujicobakan kepada sekelompok besar
testi, sehingga pengukurannya masih belum meyakinkan.
Begitu juga tingkat
kesukaran itemnya tidak didasarkan atas sifat-sifat atau karakteristik peserta
didiknya. Mereka dianggap memiliki taraf berpikir dan taraf penguasaan materi
yang sama. Padahal, setiap peserta didik secara psikologis mempunyai kemampuan
yang berbeda. Oleh sebab itu, sebaiknya item-item tes disusun secara cermat
berdasarkan tingkat kemampuan individu yang heterogen, sedangkan
penjelasan-penjelasan yang bersifat umum bisa sama. Tes buatan guru bersifat
temporer, artinya hanya berlaku pada saat tertentu dan situasi tertentu pula.
Pada kesempatan lain belum tentu tes tersebut dapat digunakan, karena mungkin berubah,
baik bentuk itemya maupun kapasitas peserta didiknya.
Ada tes buatan guru
yang bersifat hafalan semata, dan ada pula yang bersifat analitis. Anda sebagai
guru yang profesional tentu akan menyusun soal yang berimbang dari kedua sifat
tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengetahui siapa yang
mempunyai kemampuan yang mantap dalam mengingat atau menghafal sesuatu, dan
siapa pula yang mempunyai daya pikir yang kritis, analitis, luas dan asosiatif.
Situasi terakhir inilah yang harus diciptakan guru.
2. Tes yang Dibakukan (standardized test)
Tes yang dibakukan atau tes baku adalah tes yang sudah memiliki
derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi berdasarkan percobaan-percobaan
terhadap sampel yang cukup besar dan representatif. Tes baku adalah tes yang
dikaji berulang-ulang kepada sekelompok besar peserta didik, dan item-itemnya
relevan serta mempunyai daya pembeda yang tinggi. Di samping itu, tes baku
telah diklasifikasikan sesuai dengan tingkat usia dan kelasnya. Tes baku biasanya
telah dianalisis secara statistik dan diuji secara empiris oleh para ahli
(pakar), karena itu dapat dinyatakan sahih (valid) untuk digunakan secara umum.
Pengolahan secara statistik dimaksudkan untuk mencari derajat kesahihan dan
keandalan serta daya pembeda yang tinggi dari setiap item, sehingga soal itu
betul-betul tepat diberikan dan dapat dijadikan alat pengukur kemampuan setiap
orang secara umum. Sedangkan pengujian secara empiris dimaksudkan untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan setiap tiga aspek, yaitu kedudukan belajar,
kemajuan belajar, dan diagnostik.
Untuk mengetahui kedudukan belajar, setiap peserta didik
dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, setingkat madrasah, atau setingkat
dari beberapa madrasah. Tes ini dilakukan pada tingkat tertentu dan waktu
tertentu saja. Tes baku juga digunakan untuk mengukur kemajuan belajar peserta
didik dalam mata pelajaran tertentu. Artinya, jika guru telah selesai membahas
satu atau beberapa pokok bahasan dari mata pelajaran tertentu, guru bisa
memberikan ulangan harian atau ulangan umum pada setiap semester. Adakalanya
tes itu diberikan beberapa kali, sehingga kemajuan atau kemunduran belajar
peserta didik dapat diketahui. Tes untuk kemajuan belajar inilah yang paling
sering dan umum dilakukan oleh setiap guru dalam kegiatan pembelajaran, baik
untuk laporan kemajuan belajar peserta didik maupun untuk keperluan seleksi.
Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan secara tertulis, lisan dan perbuatan,
bergantung kepada tujuan dan materinya.
Tes baku bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan
peserta didik dalam menguasai materi pelajaran tertentu secara luas. Tes ini
berisi materi-materi yang disusun dari yang termudah sampai yang tersukar serta
terdiri atas cakupan yang luas. Dewasa ini tes diagnostik telah banyak
dilakukan pada semua sekolah untuk semua tingkatan. Tes diagnostik biasanya
dilakukan serempak pada beberapa sekolah dalam waktu yang sama dengan materi
tes yang sama. Hasil tes diagnostik akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan
tertentu dari sekolah tertentu.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan tes baku,
antara lain :
a.
Aspek yang hendak diukur. Dalam keterangan tes tersebut dijelaskan aspek apa
saja yang hendak diukur, misalnya kemampuan membaca, perbendaharaan pengetahuan
umum, sikap, minat, kepribadian.
b.
Pihak penyusun. Nama orang, baik secara individual maupun kelompok ataupun
organisasi yang merancang tes itu, perlu dicantumkan dalam tes tersebut.
Misalnya, tes bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Modern Language
Association (TEOFL) oleh College Entrance Examination Board and
Educationaal Testing Service, tes masuk perguruan tinggi negeri yang
sekarang kita kenal dengan istilah SNM-PTN. Nama pihak penyusun tes akan
memberikan jaminan mutu dan kesahihan tesnya.
c.
Tujuan penggunaan tes. Tujuan penggunaan tes perlu dirumuskan dengan jelas dan
tegas, sehingga tidak mengaburkan tester dalam mengambil kesimpulan tentang
peserta didik. Ada tujuan tes untuk diagnostik, ada pula untuk mengetahui hasil
belajar peserta didik. Semua itu harus
dicantumkan dalam keterangan tentang tes tersebut. Jika tujuan penggunaan tes
tidak diketahui atau diabaikan, maka fungsi tes tersebut akan hilang dan tidak
akan mencapai apa yang diharapkan. Dengan demikian, tester akan memperoleh
gambaran yang keliru tentang testi, akhirnya kesimpulan yang ditarik
daripadanya akan salah pula.
d.
Sampel. Dalam tes itu disebutkan pula sampel yang akan digunakan dan variasi
heterogenitasnya untuk dikenai tes tersebut. Selain itu dinyatakan pula lamanya
waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tes itu dan berapa kali tes itu dapat
dicobakan kepada testi yang sama atau berlainan. Jika ketentuan tentang sampel,
waktu, dan frekuensi pelaksanaan ini kurang ditaati, fungsi tes itu akan kurang
meyakinkan.
e.
Kesahihan dan keandalan. Agar tes tersebut sahih (valid) dan andal (reliabel),
maka ketentuan-ketentuan tentang cara atau langkah-langkah yang ditempuh harus
dipatuhi, baik oleh tester maupun oleh testi, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan
dengan lancar tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap kesahihan dan keandalan suatu tes.
f.
Pengadministrasian. Ketentuan-ketentuan pokok mengenai pengadministrasian suatu
tes perlu disusun secara teratur dan baik sesuai dengan fungsi administrasi itu
sendiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada penilaian. Dalam
perencanaan perlu dimuat waktu, bahan atau materi, tujuan dan cara
pelaksanaannya. Sedangkan dalam pelaksanaan perlu dimuat tempat atau ruangan
dimana tes itu dilaksanakan, pengawas tes, dan jumlah peserta didik yang
mengikuti tes tersebut. Dalam penilaian perlu dimuat teknik atau prosedur
mengolah data, sehingga data tersebut dapat memberikan makna bagi semua pihak.
Oleh sebab itu, Anda harus membuat laporan untuk orang tua , pemerintah, kepala
madrasah dan peserta didik itu sendiri.
g.
Cara menskor. Setelah tes dilaksanakan dan data sudah terkumpul, selanjutnya
perlu diolah. Dalam pengolahan harus diperhatikan pendekatan penilaian yang
digunakan, standar norma, passing grade, dan peringkat (ranking).
Untuk pendekatan penilaian dapat digunakan penilaian acuan patokan (criterion-
referenced assessment) atau penilaian acuan norma (norm-referenced
assessment). Hal ini bergantung kepada tujuan dan maksud evaluasi itu
sendiri. Begitu juga dengan standar norma, ada standar 0 – 4, 0 – 10 dan 0 –
100. Standar norma yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Di
samping itu, perlu pula ditentukan batas lulus (passing grade) dan
peringkat (ranking) dari keseluruhan testi agar guru dapat mengetahui
kedudukan seorang peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lainnya.
Semua catatan dan keterangan mengenai skoring
tes ini harus didokumentasikan dalam suatu berkas dan dibuat laporan
pemeriksaan untuk dijadikan bahan pedoman dalam pelaksanaan tes berikutnya.
Dokumen ini harus dirahasiakan bagi siapapun. Pada zaman modern sekarang ini,
ketika teknologi sudah semakin canggih, pelaksanaan penskoran dan penentuan
batas lulus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat oleh pesawat komputer di
samping secara manual.
h.
Kunci jawaban. Biasanya pada lembaran soal dilampirkan kunci jawaban sekalian
untuk dijadikan dasar dalam pemeriksaan. Ada kalanya lembar kunci jawaban ini
disatukan dengan petunjuk pelaksanaan, skoring, dan tata tertib tes. Pada tes
tertulis berbentuk esai, kunci jawabannya hanya memuat pokok-pokok materi yang
penting saja yang harus dicantumkan oleh testi sebagai syarat dalam tesnya.
Sedangkan dalam tes tertulis berbentuk objektif, kunci jawabannya memuat
jawaban yang pasti. Di samping itu, ditetapkan pula ketentuan-ketentuan
mengenai cara menggunakan kunci jawaban agar tidak salah penggunaannya.
i.
Tabel skor mentah (raw score) dan skor terjabar. Selain
lampiran-lampiran peraturan mengenai pelaksanaan tes, disertakan pula
tabel-tabel yang diperlukan untuk pengolahan skor mentah ke dalam skor terjabar
serta petunjuk pelaksanaannya.
j.
Penafsiran. Akhirnya, setelah seluruh tes itu rampung dikerjakan sampailah
kepada penafsiran tentang hasil tes itu. Kecenderungan apa yang dapat kita
temukan dan bagaimana keputusan serta kesimpulannya, akan diperoleh setelah
diadakan penafsiran data.
Ketentuan-ketentuan di atas merupakan ketentuan pokok
yang harus diperhatikan dalam melaksanakan suatu tes, sehingga hasil tes dapat
memenuhi standar yang kita harapkan. Dalam penyelenggaraan suatu tes hendaknya
dibentuk suatu panitia dengan beberapa staf anggotanya serta pembagian kerjanya
(job description). Di samping itu, disusun pula jadwal kerja panitia,
dan yang tidak kurang pentingnya adalah tersedianya dana untuk pembiayaan tes
tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara tes baku dengan tes buatan
guru yaitu :
Tes Baku
|
Tes Buatan Guru
|
•Berdasarkan isi dan tujuan-tujuan yang bersifat umum.
•Mencakup pengetahuan dan kecakapan yang luas.
•Dikembangkan oleh tenaga yang berkompeten dan
profesional.
•Item-item sudah diujicobakan, dianalisis, dan
direvisi.
•Memiliki derajat kesahihan dan keandalan yang tinggi.
•Memiliki ukuran -
ukuran bermacam -macam kelompok yang secara luas mewakili performance
seluruh daerah.
|
•Berdasarkan isi dan tujuan-tujuan yang bersifat
khusus.
•Mencakup pengetahuan dan kecakapan yang khusus.
•Dikembangkan oleh seorang guru tanpa bantuan dari
luar.
•Item-item jarang diujicobakan sebelum menjadi bagian
tes tersebut.
•Memiliki derajat kesahihan dan keandalan yang rendah.
•Biasanya terbatas pada kelas atau satu sekolah sebagai
suatu kelompok pemakainya.
|
Pada umumnya, tes yang
dibakukan mempunyai norma-norma yang dapat digunakan untuk menafsirkan hasil
yang dicapai oleh setiap peserta didik. Norma-norma ini tidak disusun begitu
saja, tetapi didasarkan atas hasil penyelidikan secara empiris, kemudian dianalisis
secara logis, rasional dan sistematis, serta dilakukan dengan percobaan
terhadap sejumlah peserta didik yang dianggap cukup mewakili seluruh populasi.
Jika suatu tes baku akan digunakan disuatu daerah yang baru yang ketika
diadakan proses standarisasi tidak turut diwakilinya, hendaknya diadakan
standarisasi baru, khususnya untuk daerah yang baru tadi.
Jika kita mempunyai tes yang seragam dan norma-norma
disusun berdasarkan percobaan pendahuluan di Pulau Jawa saja, maka bila kita
ingin menggunakannya di daerah lain, misalnya di Sumatera, hendaknya kita
jangan mempercayai begitu saja norma-norma yang telah disusun tadi, tetapi
perlu diadakan percobaan pendahuluan untuk menyusun norma-norma yang baru lagi.
Inilah yang dimaksud dengan proses standarisasi. Biasanya tes hasil belajar
yang telah dibakukan terdiri atas materi-meteri pelajaran yang bersifat umum
dan diajarkan diseluruh madrasah yang sejenis disuatu negara atau daerah.
Sedangkan untuk materi-materi pelajaran yang bersifat khusus harus disusun tes
tersendiri yang disesuaikan dengan semua kondisi khas bagi madrasah dan peserta
didiknya.
Berdasarkan
aspek pengetahuan dan keterampilan, maka tes dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu tes kemampuan dan tes kecepatan.
1. Tes Kemampuan (power test)
Prinsip
tes kemampuan adalah tidak adanya batasan waktu di dalam pengerjaan tes. Jika
waktu tes tidak dibatasi, maka hasil tes dapat mengungkapkan kemampuan peserta
didik yang sebenarnya. Sebaliknya, jika waktu pelaksanaan tes dibatasi, maka
ada kemungkinan kemampuan peserta didik tidak dapat diungkapkan secara utuh.
Artinya, skor yang diperoleh bukan menggambarkan kemampuan peserta didik yang
sebenarnya. Namun demikian, bukan berarti peserta didik yang paling lambat
harus ditunggu sampai selesai. Tes kemampuan menghendaki agar sebagian peserta
didik dapat menyelesaikan tes dalam waktu yang disediakan. Implikasinya adalah
guru harus menghitung waktu pelaksanaan tes yang logis, rasional, dan
proporsional ketika menyusun kisi-kisi tes.
2. Tes Kecepatan (speed test)
Aspek
yang diukur dalam tes kecepatan adalah kecepatan peserta didik dalam
mengerjakan sesuatu pada waktu atau periode tertentu. Pekerjaan tersebut
biasanya relatif mudah, karena aspek yang diukur benar-benar kecepatan bekerja
atau kecepatan berpikir peserta didik, bukan kemampuan lainnya. Misalnya, guru
ingin mengetes kecepatan berlari, kecepatan membaca, kecepatan mengendarai
kendaraan, dan sebagainya dalam waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya,
dilihat dari bentuk jawaban peserta didik, maka tes dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan.
Tes
tertulis atau sering disebut paper and pencil test adalah tes yang
menuntut jawaban dari peserta didik dalam bentuk tertulis. Tes tertulis ada
yang bersifat formal dan ada pula yang bersifat nonformal. Tes yang bersifat
formal meliputi jumlah testi yang cukup besar yang diselenggarakan oleh suatu
panitia resmi yang diangkat oleh pemerintah. Tes formal mempunyai tujuan yang
lebih luas dan didasarkan atas standar tertentu yang berlaku umum. Sedangkan
tes nonformal berlaku untuk tujuan tertentu dan lingkungan terbatas yang
diselenggarakan langsung oleh pihak pelaksana dalam situasi setengah resmi
tanpa melalui institusi resmi. Tes tertulis ada dua bentuk, yaitu bentuk uraian
(essay) dan bentuk objektif (objective).
Menurut
sejarah, yang ada lebih dahulu adalah bentuk uraian. Mengingat bentuk uraian
ini banyak kelemahannya, maka orang berusaha untuk menyusun tes dalam bentuk
yang lain, yaitu tes objektif. Namun demikian, tidak berarti bentuk uraian
ditinggalkan sama sekali. Bentuk uraian dapat digunakan untuk mengukur
kegiatan-kegiatan belajar yang sulit diukur oleh bentuk objektif. Disebut
bentuk uraian, karena menuntut peserta didik untuk menguraikan,
mengorganisasikan dan menyatakan jawaban dengan kata-katanya sendiri dalam
bentuk, teknik, dan gaya yang berbeda satu dengan lainnya. Bentuk uraian sering
juga disebut bentuk subjektif, karena dalam pelaksanaannya sering dipengaruhi
oleh faktor subjektifitas guru. Dilihat dari luas-sempitnya materi yang
ditanyakan, maka tes bentuk uraian ini dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu
uraian terbatas (restricted respons items) dan uraian bebas (extended
respons items).
1. Uraian Terbatas
Dalam
menjawab soal bentuk uraian terbatas ini, peserta didik harus mengemukakan
hal-hal tertentu sebagai batas-batasnya. Walaupun kalimat jawaban peserta didik
itu beraneka ragam, tetap harus ada pokok-pokok penting yang terdapat dalam
sistematika jawabannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan dan
dikehendaki dalam soalnya.
Contoh :
a. Jelaskan bagaimana masuknya Islam di Indonesia dilihat
dari segi ekonomi dan politik.
b. Sebutkan lima rukum Islam !
2. Uraian Bebas
Dalam bentuk ini peserta didik bebas untuk menjawab soal
dengan cara dan sistematika sendiri. Peserta didik bebas mengemukakan pendapat
sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, setiap peserta didik mempunyai
cara dan sistematika yang berbeda-beda. Namun demikian, guru tetap harus
mempunyai acuan atau patokan dalam mengoreksi jawaban peserta didik nanti.
Contoh :
a. Jelaskan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia !
b. Bagaimana peranan pendidikan Islam dalam memecahkan
masalah-masalah pokok pendidikan di Indonesia ?
Sehubungan dengan kedua bentuk uraian di atas, Depdikbud
sering menyebutnya dengan istilah lain, yaitu Bentuk Uraian Objektif (BUO) dan
Bentuk Uraian Non Objektif (BUNO). Kedua bentuk ini sebenarnya merupakan bagian
dari bentuk uraian terbatas, karena pengelompokkan tersebut hanya didasarkan
pada pendekatan/cara pemberian skor. Perbedaan BUO dan BUNO terletak pada
kepastian pemberian skor. Pada soal BUO, kunci jawaban dan pedoman penskorannya
lebih pasti. Kunci jawaban disusun menjadi beberapa bagian dan setiap bagian diberi
skor. Sedangkan pada soal BUNO, pedoman penskoran dinyatakan dalam rentangan (0
– 4 atau 0 – 10), sehingga pemberian skor dapat dipengaruhi oleh unsur
subjektif. Untuk mengurangi unsur subjektifitas ini, Anda dapat melakukannya
dengan cara membuat pedoman penskoran secara rinci dan jelas, sehingga
pemberian skor dapat relatif sama.
1. Bentuk Uraian Objektif (BUO).
Bentuk
uraian seperti ini memiliki sehimpunan jawaban dengan rumusan yang relatif
lebih pasti, sehingga dapat dilakukan penskoran secara objektif. Sekalipun
pemeriksa berbeda tetapi dapat menghasilkan skor yang relatif sama. Soal bentuk
ini memiliki kunci jawaban yang pasti, sehingga jawaban benar bisa diberi skor
1 dan jawaban salah 0. Anthony J.Nitko (1996) menjelaskan bentuk uraian
terbatas dapat digunakan untuk menilai hasil belajar yang kompleks, yaitu
berupa kemampuan-kemampuan : menjelaskan hubungan sebab-akibat, melukiskan
pengaplikasian prinsip-prinsip, mengajukan argumentasi-argumentasi yang
relevan, merumuskan hipotesis dengan tepat, merumuskan asumsi yang tepat,
melukiskan keterbatasan data, merumuskan kesimpulan secara tepat, menjelaskan
metoda dan prosedur, dan hal-hal sejenis yang menuntut kemampuan peserta didik
untuk melengkapi jawabannya.
Dalam
penskoran bentuk soal uraian objektif, skor hanya dimungkinkan menggunakan dua
kategori, yaitu benar atau salah. Untuk setiap kata kunci yang benar diberi
skor 1 (satu) dan untuk kata kunci yang dijawab salah atau tidak dijawab diberi
skor 0 (nol). Dalam satu rumusan jawaban dapat mengandung lebih dari satu kata
kunci, sehingga skor maksimum jawaban dapat lebih dari satu. Kata kunci
tersebut dapat berupa kalimat, kata, bilangan, simbol, gambar, grafik, ide,
gagasan atau pernyataan. Diharapkan dengan pembagian yang tegas seperti ini,
unsur subjektifitas dapat dihindari atau dikurangi.
Adapun
langkah-langkah pemberian skor soal bentuk uraian objektif adalah :
a. Tuliskan semua kata kunci atau kemungkinan jawaban
benar secara jelas untuk setiap soal.
b. Setiap kata kunci yang dijawab benar diberi skor 1.
Tidak ada skor setengah untuk jawaban yang kurang sempurna. Jawaban yang diberi
skor 1 adalah jawaban sempurna, jawaban lainnya adalah 0.
c. Jika satu pertanyaan memiliki beberapa sub pertanyaan,
rincilah kata kunci dari jawaban soal tersebut menjadi beberapa kata kunci sub
jawaban dan buatkan skornya. d. Jumlahkan skor dari semua kata kunci yang telah ditetapkan pada
soal tersebut. Jumlah skor ini disebut skor maksimum.
Contoh :
Indikator : Menghitung isi bangun ruang
(balok) dan mengubah satuan ukurannya.
Soal :
Sebuah bak penampung air berbentuk balok
berukuran panjang 100 cm, lebar 70 cm dan tinggi 60 cm. Berapa liter isi bak
penampung mampu menyimpan air ?
Pedoman Penyekoran
Langkah
|
Kriteria Jawaban
|
Skor
|
1
|
Rumus isi balok = panjang x lebar x tinggi
|
1
|
2
|
= 100 cm x 70 cm x 60 cm
|
1
|
3
|
= 420.000 cm3
|
1
|
4
|
Isi balok dalam liter : 420.000
1000
|
1
|
5
|
= 420 liter
|
1
|
Skor maksimum
|
5
|
2. Bentuk Uraian Non-Objektif (BUNO).
Bentuk soal seperti ini memiliki rumusan jawaban yang
sama dengan rumusan jawaban uraian bebas, yaitu menuntut peserta didik untuk
mengingat dan mengorganisasikan (menguraikan dan memadukan) gagasan-gagasan
pribadi atau hal-hal yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau
mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis sehingga dalam
penskorannya sangat memungkinkan adanya unsur subjektifitas. Bentuk uraian
bebas dapat digunakan untuk menilai hasil belajar yang bersifat kompleks,
seperti kemampuan menghasilkan, menyusun dan menyatakan ide-ide, memadukan
berbagai hasil belajar dari berbagai bidang studi, merekayasa bentuk-bentuk
orisinal (seperti mendisain sebuah eksperimen), dan menilai arti atau makna
suatu ide.
Dalam
penyekoran soal bentuk uraian non-objektif, skor dijabarkan dalam rentang.
Besarnya rentang skor ditetapkan oleh kompleksitas jawaban, seperti 0 – 2, 0
-4, 0 – 6, 0 – 8, 0 – 10 dan lain-lain. Skor minimal harus 0, karena peserta didik
yang tidak menjawab pun akan memperoleh skor minimal tersebut. Sedangkan skor
maksimum ditentukan oleh penyusun soal dan keadaan jawaban
yang dituntut dalam soal tersebut. Adapun langkah-langkah pemberian skor untuk
soal bentuk uraian non-objektif adalah :
a. Tulislah garis-garis besar jawaban sebagai kriteria
jawaban untuk dijadikan pegangan dalam pemberian skor.
b. Tetapkan rentang skor untuk setiap kriteria jawaban.
c. Pemberian skor pada setiap jawaban bergantung pada
kualitas jawaban yang diberikan oleh peserta didik.
d. Jumlahkan skor-skor yang diperoleh dari setiap
kriteria jawaban sebagai skor peserta didik. Jumlah skor tertinggi dari setiap
kriteria jawaban disebut skor maksimum dari suatu soal.
e. Periksalah soal untuk setiap nomor dari semua peserta
didik sebelum pindah ke nomor soal yang lain. Tujuannya untuk menghindari
pemberian skor berbeda terhadap jawaban yang sama.
f. Jika setiap butir soal telah selesai diskor, hitunglah
jumlah skor perolehan peserta didik untuk setiap soal. Kemudian hitunglah nilai
tiap soal dengan rumus :
Skor perolehan peserta didik
Nilai Tiap Soal = ———————————————— x bobot soal
skor maksimum tiap butir soal
g. Jumlahkan semua nilai yang diperoleh dari semua soal.
Jumlah nilai ini disebut nilai akhir dari suatu perangkat tes yang diberikan.
Contoh
:
Indikator
: Menjelaskan alasan yang membuat kita harus bangga sebagai bangsa Indonesia.
Soal :
Jelaskan alasan yang membuat kita perlu bangga sebagai bangsa Indonesia !
Pedoman Penyekoran
Kriteria Jawaban
|
Rentang Skor
|
Kebanggaan yang berkaitan dengan kekayaan alam
Indonesia
|
0 - 2
|
Kebanggaan yang berkaitan dengan keindahan tanah air
Indonesia (pemandangan alam, geografis, dsb)
|
0 - 2
|
Kebanggaan yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya.
Suku, adat istiadat tetapi dapat bersatu
|
0 - 3
|
Kebanggaan yang berkaitan dengan keramahtamahan
masyarakat Indonesia
|
0 - 2
|
Skor maksimum
|
9
|
Untuk
meningkatkan objektifitas hasil pemeriksaan jawaban, ada beberapa hal yang
harus Anda perhatikan, antara lain :
1. Untuk memperoleh soal bentuk uraian yang baik harus
disusun rencana yang baik pula. Anda harus mengingat kembali prinsip-prinsip
penyusunan tes dan langkah-langkah pengembangan tes secara umum.
2. Dalam menulis soal bentuk uraian, Anda harus mempunyai
gambaran tentang ruang lingkup materi yang ditanyakan dan lingkup jawaban yang
diharapkan, kedalaman dan panjang jawaban atau rincian jawaban yang mungkin
diberikan oleh peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghindari
kemungkinan terjadinya kerancuan soal dan dapat mempermudah pembuatan kriteria
atau pedoman penyekoran.
3. Setelah menulis soal, Anda harus segera menyusun kunci
jawaban atau pokok-pokok jawaban dan pedoman penyekoran, yang berisi tentang :
a. Batasan atau kata-kata kunci untuk melakukan
penyekoran terhadap soal bentuk uraian objektif.
b. Kriteria jawaban yang digunakan untuk melakukan
penyekoran terhadap soal bentuk uraian non-objektif.
4. Semua identitas peserta didik harus disembunyikan agar
tidak terlihat sebelum dan selama memeriksa. Jika memungkinkan, identitas
peserta didik cukup diganti dengan kode tertentu.
5. Jauhkanlah hal-hal
yang dapat mempengaruhi subjektifitas pemberian skor, seperti bentuk
tulisan/huruf, ukuran kertas, ejaan, struktur kalimat, kerapihan, dan
lain-lain.
B. Metode Pengoreksian Soal Bentuk Uraian
Untuk
mengoreksi soal bentuk uraian dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu “metode
per nomor (whole method), metode per lembar (separated method),
dan metode bersilang (cross method)” (Zainal Arifin, 1991, 30).
1. Metode per nomor. Di sini Anda mengoreksi hasil
jawaban peserta didik untuk setiap nomor. Misalnya, Anda mengoreksi nomor satu
untuk seluruh peserta didik, kemudian nomor dua untuk seluruh peserta didik,
dan seterusnya. Kebaikannya adalah pemberian skor yang berbeda atas dua jawaban
yang kualitasnya sama hampir tidak akan terjadi, karena jawaban peserta didik
yang satu selalu dibandingkan dengan jawaban peserta didik yang lain. Sedangkan
kelemahannya adalah pelaksanaannya terlalu berat dan memakan waktu banyak.
2. Metode per lembar. Di sini Anda mengoreksi setiap
lembar jawaban peserta didik mulai dari nomor satu sampai dengan nomor
terakhir. Kebaikannya adalah relatif lebih murah dan tidak memakan waktu
banyak. Sedangkan kelemahannya adalah guru sering memberi skor yang berbeda
atas dua jawaban yang sama kualitasnya, atau sebaliknya.
3. Metode bersilang. Disini Anda mengoreksi jawaban
peserta didik dengan jalan menukarkan hasil koreksi dari seorang korektor
kepada korektor yang lain. Jika telah selesai dikoreksi oleh seorang korektor,
lalu dikoreksi kembali oleh korektor yang lain. Kelebihannya adalah faktor
subjektif dapat dikurangi. Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan waktu dan
tenaga yang banyak.
Dalam
pelaksanaan pengoreksian, Anda boleh memilih salah satu diantara ketiga metode
tersebut, atau mungkin Anda menggunakannya secara bervariasi. Hal ini harus
disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, Anda menghendaki hasil jawaban yang
betul-betul objektif, maka lebih tepat bila kita menggunakan metode bersilang.
Sebaliknya, bila ada waktu luang, Anda dapat menggunakan metode pernomor atau
metode per lembar.
Selanjutnya,
Zainal Arifin (1991 : 30) mengemukakan “ di samping metode-metode di atas, ada
juga metode lain untuk mengoreksi jawaban soal bentuk uraian, yaitu “analytical
method dan sorting method”.
1. Analytical method, yaitu suatu cara untuk mengoreksi jawaban peserta didik
dan guru sudah menyiapkan sebuah model jawaban, kemudian dianalisis menjadi
beberapa langkah atau unsur yang terpisah, dan setiap langkah disediakan
skor-skor tertentu. Setelah satu model jawaban tersusun, maka jawaban
masing-masing peserta didik dibandingkan dengan model jawaban tersebut,
kemudian diberi skor sesuai dengan tingkat kebenarannya.
2. Sorting method, yaitu metode memilih
yang dipergunakan untuk memberi skor terhadap jawaban-jawaban yang tidak dibagi-bagi
menjadi unsur-unsur.
Jawaban-jawaban peserta didik harus dibaca secara
keseluruhan.
Anda
juga dapat menggunakan metode lain untuk pemberian skor soal bentuk uraian,
yaitu :
1. Point method, yaitu setiap jawaban dibandingkan dengan jawaban ideal
yang telah ditetapkan dalam kunci jawaban dan skor yang diberikan untuk setiap
jawaban akan bergantung kepada derajat kepadanannya dengan kunci jawaban.
Metode ini sangat cocok digunakan untuk bentuk uraian terbatas, karena setiap
jawaban sudah dibatasi dengan kriteria tertentu.
2. Rating method, yaitu setiap jawaban peserta didik ditetapkan dalam
salah satu kelompok yang sudah dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya selagi
jawaban tersebut dibaca. Kelompok-kelompok tersebut menggambarkan kualitas dan
menentukan berapa skor yang akan diberikan kepada setiap jawaban. Misalnya,
sebuah soal akan diberi skor maksimum 8, maka bagi soal tersebut dapat dibuat 9
kelompok jawaban dari 8 sampai 0. Metode ini sangat cocok digunakan untuk
bentuk uraian bebas.
Setiap
bentuk soal tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Begitu juga bentuk
uraian. Kebaikan tes bentuk uraian antara lain (1) menyusunnya relatif mudah
(2) guru dapat menilai peserta didik mengenai kreatifitas, menganalisa dan
mengsintesa suatu soal. Hal ini berarti memberikan kebebasan yang luas kepada
peserta didik untuk menyatakan tanggapannya (3) guru dapat memperoleh data-data
mengenai kepribadian peserta didik (4) peserta didik tidak dapat menerka-nerka
(5) derajat ketepatan dan kebenaran peserta didik dapat dilihat dari ungkapan
kalimat-kalimatnya (6) sangat cocok untuk mengukur dan menilai hasil belajar
yang kompleks, yang sukar diukur dengan mempergunakan bentuk objektif.
Kelemahan
tes bentuk uraian antara lain (1) sukar sekali menilai jawaban peserta didik
secara tepat dan komprehensif (2) ada kecenderungan guru untuk memberikan nilai
seperti biasanya (3) menghendaki respon-respon yang relatif panjang (4) untuk
mengoreksi jawaban diperlukan waktu yang lama (5) guru sering terkecoh dalam
memberikan nilai, karena keindahan kalimat dan tulisan, bahkan juga oleh lembar
jawaban (6) hanya terbatas pada guru-guru yang menguasai materi yang dapat
mengoreksi jawaban peserta didik, sehingga kurang praktis bila jumlah peserta
didik cukup banyak.
Dalam
menyusun soal bentuk uraian, ada baiknya Anda ikuti petunjuk praktis berikut
ini.
1. Materi yang akan diujikan hendaknya materi yang kurang
cocok diukur dengan menggunakan bentuk objektif, seperti :
a. Kemampuan peserta didik untuk menyusun pendapatnya
mengenai suatu masalah.
b. Hasil pekerjaan anak didik setelah mengadakan kegiatan
seperti peninjauan,
kerja nyata, dan sebagainya.
c. Kemampuan peserta didik dalam hal berbahasa Arab.
d. Kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah.
2. Setiap pertanyaan hendaknya menggunakan petunjuk dan
rumusan yang jelas dan mudah dipahami, sehingga tidak menimbulkan kebimbangan
pada peserta didik. Misalnya :
a. Apa perbedaan antara ikhfa dengan izhar.
Berikan masing-masing dua buah contoh hurufnya.
b. Apa yang dimaksud dengan yaumid din dalam surat
al-Fatihah ?
c. Mengapa setiap muslim harus melaksanakan sholat wajib
?
3. Jangan memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk memilih beberapa soal dari sejumlah soal yang diberikan, sebab cara
demikian tidak memungkinkan untuk memperoleh skor yang dapat dibandingkan.
4. Persoalan yang terkandung dalam tes bentuk uraian
hendaknya difokuskan pada hal-hal seperti : menelaah persoalan, melukiskan
persoalan, menjelaskan persoalan, membandingkan dua hal atau lebih,
mengemukakan kritik terhadap sesuatu, menyelesaikan suatu persoalan seperti
menghitung, membuat contoh mengenai suatu pengertian, memecahkan suatu
persoalan dengan jalan mengaplikasikan prinsip-prinsip yang telah dikuasainya,
dan menyusun suatu konsepsi.
C.
Analisis Soal Bentuk Uraian
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menganalisis soal
bentuk uraian. Pertama, secara rasional yang dilakukan sebelum tes itu
digunakan/diujicobakan seperti menggunakan kartu telaah.
Contoh :
KARTU TELAAH SOAL BENTUK URAIAN
Nomor
Soal :
|
Perangkat
:
|
||
No
|
ASPEK YANG DITELAAH
|
Ya
|
Tidak
|
A.
Materi
|
|
|
|
01
|
Soal sesuai dengan indikator
|
|
|
02
|
Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan jelas
|
|
|
03
|
Isi materi sesuai dengan tujuan tes.
|
|
|
04
|
Isi materi sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan
kelas
|
|
|
B.
Konstruksi
|
|
|
|
05
|
Rumusan kalimat soal atau pertanyaan harus menggunakan
kata tanya atau perintah yang menuntut jawaban terurai.
|
|
|
06
|
Ada petunjuk yang jelas tentang cara mengerjakan soal.
|
|
|
07
|
Ada pedoman penskoran.
|
|
|
08
|
Gambar, grafik, tabel, diagram, dan sejenisnya
disajikan dengan jelas dan terbaca.
|
|
|
C.
Bahasa
|
|
|
|
09
|
Rumusan kalimat soal komunikatif.
|
|
|
10
|
Butir soal menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
|
|
|
11
|
Rumusan soal tidak menggunakan kata/kalimat yang
menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian
|
|
|
12
|
Tidak menggunakan bahasa lokal/daerah.
|
|
|
13
|
Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat
menyinggung perasaan peserta didik.
|
|
|
|
Catatan :
|
|
|
Kedua, secara empiris yaitu menganalisis hasil ujian atau
hasil uji-coba secara kuantitatif. Untuk itu, ada dua hal yang harus Anda
pelajari :
1. Daya Pembeda Soal
Daya
pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara peserta didik
yang pandai (menguasai materi) dengan peserta didik yang kurang pandai
(kurang/tidak menguasai materi). Logikanya adalah peserta didik yang pandai
tentu akan lebih mampu menjawab dibandingkan dengan peserta didik yang kurang
pandai. Indeks daya pembeda biasanya dinyatakan dengan proporsi. Semakin tinggi
proporsi itu, maka semakin baik soal tersebut membedakan antara peserta didik
yang pandai dengan peserta didik yang kurang pandai. Untuk menguji daya pembeda
(DP) ini, Anda perlu menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghitung jumlah skor total tiap peserta didik.
b. Mengurutkan skor total mulai dari skor terbesar sampai
dengan skor terkecil.
c. Menetapkan kelompok atas dan kelompok bawah. Jika
jumlah peserta didik banyak (di atas 30) dapat ditetapkan 27 % .
d. Menghitung rata-rata skor untuk masing-masing kelompok
(kelompok atas maupun kelompok bawah).
e. Menghitung daya pembeda soal dengan rumus :
Keterangan :
X KA = rata-rata
kelompok atas
X KB =
rata-rata kelompok bawah
Skor maks = skor maksimum
d. Membandingkan daya pembeda dengan kriteria seperti
berikut :
0.40 ke atas =
sangat baik
0,30 – 0,39 =
baik
0,20 – 0,29 =
cukup, soal perlu perbaikan
0,19 ke bawah = kurang baik, soal harus dibuang
Contoh :
Empat orang peserta didik mengikuti Ujian Akhir Semester
dengan jumlah soal 3 dalam bentuk uraian. Kotak yang diarsir menunjukkan
perolehan skor masing-masing peserta didik.
Nama Peserta Didik
|
Nomor Soal/Skor
|
Skor Total
|
Kelompok
|
||
1
|
2
|
3
|
|||
Arie
|
8
|
7
|
8
|
23
|
Atas
|
Angga
|
7
|
6
|
9
|
22
|
Atas
|
Ardi
|
6
|
1
|
8
|
15
|
Bawah
|
Asep
|
3
|
2
|
7
|
12
|
Bawah
|
Jmlh.Skor
|
24
|
16
|
32
|
|
|
Skor Maks
|
10
|
8
|
12
|
||
Rata-rata
|
24/4 = 6
|
16/4 = 4
|
32/4 = 8
|
Penafsiran: setelah dibandingkan dengan kriteria,
ternyata soal nomor 1 memiliki daya pembeda 0,30 yang termasuk kategori baik.
Penafsiran : setelah dibandingkan dengan kriteria,
ternyata soal nomor 2 memiliki daya pembeda 0.63 yang termasuk kategori sangat
baik. Artinya, soal tersebut mampu membedakan kelompok atas dengan
kelompok bawah, mampu membedakan antara anak yang pandai dengan anak yang
kurang pandai.
Penafsiran
: Setelah dibandingkan dengan kriteria,
ternyata soal nomor 3 memiliki daya pembeda 0,08 yang termasuk kategori kurang
baik, karena itu soal tersebut harus dibuang. Artinya soal ini tidak memiliki
daya pembeda yang baik, yang berarti pula tidak mampu membedakan antara anak
yang pandai dengan anak yang kurang pandai. Dengan kata lain, anak yang pandai
dengan anak yang kurang pandai memperoleh prestasi yang sama (mungkin sama-sama
baik atau sama-sama jelek).
2. Tingkat Kesukaran Soal
Tingkat
kesukran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat
kemampuan tertentu yang biasa dinyatakan dengan indeks. Indeks ini biasa
dinyatakan dengan proporsi yang besarnya antara 0,00 sampai dengan 1,00.
Semakin besar indeks tingkat kesukaran berarti soal tersebut semakin mudah.
Untuk menghitung tingkat kesukaran soal bentuk uraian, Anda dapat menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghitung
rata-rata skor untuk tiap butir soal dengan rumus :
b. Menghitung
tingkat kesukaran dengan rumus :
c. Membandingkan
tingkat kesukaran dengan kriteria berikut :
0,00 – 0,30 = sukar
0,31 – 0,70 = sedang
0,71 – 1,00 = mudah
d. Membuat penafsiran tingkat kesukaran dengan cara
membandingkan koefisien tingkat kesukaran (poin b) dengan kriteria (poin c).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar