Jumat, 18 September 2015

Pengenalan dan Pengembangan Berbagai Alat Evaluasi


A. PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berinteraksi dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Setiap proses pembelajaran berlangsung, penting bagi seorang guru maupun peserta didik untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut. Hal ini hanya dapat diketahui jika guru melakukan evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun produk pembelajaran. Evaluasi memiliki arti lebih luas daripada penilaian. Dengan kata lain di dalam evaluasi tercakup di dalamnya penilaian.
Dengan terjadinya perubahan kurikulum menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka bermunculan teknik maupun alat evaluasi yang disesuaikan dengan perkembangan dunia pendidikan saat ini. Apalagi pada pelaporan hasil belajar peserta didik (raport) guru diharuskan menuliskan hasil belajar bukan hanya dalam aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Sebenarnya penilaian ketiga aspek tersebut bukan barang baru bagi guru, mengingat di masa-masa sebelum berlakunya KTSP guru-guru selalu mempertimbangkan perilaku dan keterampilan peserta didik sebelum menetap-kan mereka layak naik kelas atau tidak, tetapi penilaian tersebut tidak terdokumentasikan secara tersurat.
Bukan alasan klise jika seorang guru beban kerjanya sangat berat. Selain harus mengajar di kelas, guru juga dipacu untuk dapat mengembangkan keprofesionalannya melalui berbagai aktivitas di luar tugas rutinnya mengajar. Adanya keharusan menilai peserta didik pada ketiga aspek tentu saja menambah beban tugas guru semakin besar. Namun demikian, hal itu harus tetap dilakukan, meski dengan segala keterbatasan waktu, tenaga, dan mungkin juga biaya.
Kendala yang sering dihadapi guru dalam melakukan evaluasi adalah kurang tersedianya alat evaluasi yang dapat dicontoh di lapangan. Meskipun ada, biasanya bentuk/format dan isinya hampir seragam. Jika guru ingin mengadopsi langsung, kadang-kadang kurang sesuai dengan kondisi dan karakteristik peserta didik, namun jika mengadaptasi guru relatif belum memiliki bekal cukup untuk melakukannya.
Mengingat saat ini banyak alat evaluasi yang dapat digunakan guru dalam mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan berhasil dan sejauhmana materi ajar yang disampaikan dikuasai oleh peserta didiknya, maka penting bagi guru mengenal dan mengetahui berbagai alat evaluasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, jika perlu mengembangkannya. Terlebih saat ini juga diterapkan kurikulum berkarakter yang mengharuskan guru mengetahui pula bagaimana menilai karakter peserta didiknya, maka adanya workshop ini dapat menjadi ajang sharing bagi kita semua.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Penilaian dan Evaluasi
Siapapun yang melakukan tugas mengajar, perlu mengetahui akibat dari pekerjaan-nya. Pendidik harus mengetahui sejauhmana peserta didik telah menyerap dan menguasai materi yang telah diajarkan. Sebaliknya, peserta didik juga membutuhkan informasi tentang hasil pekerjaannya. Hal ini hanya dapat diketahui jika seorang pendidik (guru) melakukan evaluasi. Sebelum melakukan evaluasi, maka guru harus melakukan penilaian yang didahului dengan pengukuran.
Pengukuran hasil belajar adalah cara pengumpulan informasi yang hasilnya dapat dinyatakan dalam bentuk angka yang disebut skor. Penilaian hasil belajar adalah cara menginterpretasikan skor yang diperoleh dari pengukuran dengan mengubahnya menjadi nilai dengan prosedur tertentu dan menggunakannya untuk mengambil keputusan. Sebenar-nya penilaian hasil belajar sudah mencakup pengukuran hasil belajar, sehingga instrumen/ alat pengukuran sering disebut sebagai instrumen/alat penilaian.
Ada sebagian ahli pendidikan menyamakan arti evaluasi dengan penilaian, tetapi sesungguhnya evaluasi memiliki arti yang lebih luas, yaitu penggunaan hasil penilaian untuk mengambil keputusan, seperti untuk menentukan kelulusan, penempatan, penjurusan, dan perbaikan program. Evaluasi hasil belajar merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Jadi, evaluasi mencakup penilaian sekaligus pengukuran, namun alat evaluasi sering disebut juga alat penilaian.
Menurut Cizek (2000: 16), evaluasi adalah suatu proses penentuan nilai atau harga dengan mempertimbangkan hasil observasi atau koleksi data yang diperoleh. Hal ini berarti untuk melakukan evaluasi harus diawali dengan kegiatan observasi maupun kegiatan lainnya yang akan menghasilkan data sebagai pertimbangan evaluasi tersebut.
Pengertian evaluasi yang sederhana disampaikan oleh Sudiyono (1998: 8), yaitu evaluasi dipandang sebagai kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai sejauhmana tujuan yang telah ditetapkan sudah dapat dilaksanakan. Kegiatan evaluasi selalu diawali dengan kegiatan pengukuran, yaitu proses penetapan angka menurut aturan tertentu, dilanjutkan penilaian, baru kemudian diakhiri dengan evaluasi. Penilaian dimak-sudkan sebagai suatu kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.

2. Teknik dan Instrumen Evaluasi/Penilaian
Selain mengembangkan silabus, guru juga diharapkan mampu mengembangkan sistem penilaian, baik untuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Jika di saat KBK diberlakukan, guru mengalami kesulitan dalam hal penilaian, ternyata kesulitan ini terbawa sampai berlakunya KTSP. Colin Marsh (1996 : 10) menyatakan bahwa salah satu kompe-tensi yang harus dimiliki guru adalah kemampuannya dalam melakukan penilaian, baik terhadap proses maupun produk pembelajaran.
Teknik penilaian hasil belajar adalah cara melakukan penilaian hasil belajar, teknik penilaian disebut juga teknik pengukuran, teknik evaluasi, atau jenis tagihan. Istilah teknik pengukuran sebenarnya mempunyai arti yang lebih tepat, oleh karena kegiatan pertama penilaian adalah pengukuran. Teknik penilaian  hasil belajar dibagi menjadi:
1.    teknik ujian, bila objeknya hasil belajar pada aspek kognitif atau psikomotor,  yang dapat berbentuk:
1)ujian tulis, ujian lisan, atau ujian perbuatan tergantung cara menjawab;
2)ujian terbuka/tertutup tergantung boleh tidaknya peserta didik membuka catatan;
2.    teknik non-ujian bila objeknya terutama hasil belajar aspek afektif, namun dalam hal tertentu dipakai pula untuk hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor, yang dapat berbentuk teknik: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) angket;
3.    teknik penilaian alternatif bila objeknya proses dan/atau hasil belajar aspek kognitif, psikomotor, atau afektif.
Instrumen penilaian hasil belajar disebut juga instrumen pengukuran atau  instrumen evaluasi hasil belajar. Instrumen penilaian hasil belajar dapat berbentuk:
1.    soal (tes) untuk teknik ujian, yang dapat berbentuk soal uraian dan objektif;
2.    non-soal (non-tes) untuk teknik non-ujian, yang dapat berbentuk pedoman observasi, daftar cek atau skala lajuan; pedoman wawancara; lembar angket atau skala sikap;
3.    tugas-tugas untuk teknik penilaian alternatif.

Teknik penilaian hasil belajar bentuk ujian adalah cara merekam hasil belajar peserta didik dengan cara ujian menggunakan instrumen penilaian berbentuk soal, baik soal bentuk uraian maupun soal bentuk objektif. Dalam istilah ujian termasuk juga ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
Setiap instrumen penilaian memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga ketika memilih bentuk instrumen kita harus sudah mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya bagi keberhasilan pembelajaran yang kita lakukan. Sebagai contoh, jika kita melakukan ulangan harian, maka tidak tepat jika menggunakan soal berbentuk benar- salah, sebab ulangan harian bertujuan untuk mengetahui bagian mana dari materi yang diajarkan guru belum dikuasai peserta didik. Untuk tujuan seperti itu, soal benar – salah tidak mampu memberikan informasi secara tepat.

3.  Beberapa Hal Penting dalam Membuat Instrumen Penilaian
Penilaian terhadap hasil belajar peserta didik selalu memerlukan instrumen penilaian. Ada kalanya guru kurang mempersiapkan dengan baik instrumen tersebut dan terkesan asal-asalan. Padahal hasil penilaian merupakan informasi penting, baik bagi guru sebagai umpan balik terhadap berhasil tidaknya dalam mengajar maupun bagi peserta didik terhadap tingkat penguasaan yang telah dicapai. Oleh karena itu sebelum melakukan penilaian, guru perlu mempersiapkan instrumen penilaian dengan baik dan juga mengetahui bagaimana membuat soal yang baik. Sebenarnya instrumen soal yang baik adalah yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Namun bagi guru SD persyaratan itu terasa berat, kecuali untuk instrumen penilaian yang akan digunakan pada skala yang lebih luas, seperti ulangan umum bersama.
Hal pertama yang terpenting dan harus dibiasakan guru adalah membuat kisi-kisi sebelum membuat butir soal. Kisi-kisi berisi materi dan sub-materi yang akan diujikan serta distribusi soal yang mewakili semua sub-materi yang ada. Jika kisi-kisi tidak dibuat, maka guru tidak mengetahui apakah butir-butir soal yang dibuat representatif, baik ditinjau dari terwakilinya semua sub-materi, tingkatan aspek kognitif (C1 – C6), maupun tingkat kesukarannya. Meski terlihat sepele, tetapi kisi-kisi mampu membantu guru untuk belajar merencanakan dengan baik evaluasi yang akan dilakukan.
Berikutnya adalah memilih bentuk soal, apakah soal objektif atau uraian, tergantung   tujuan penilaian yang akan dilakukan. Soal objektif membuatnya lama, biasanya hanya mengukur aspek kognitif tingkat rendah, dan ada kemungkinan peserta didik menebak jawaban, namun kelebihannya mudah dan cepat mengoreksinya, mencakup banyak materi, dan objektivitas tinggi. Sedangkan soal uraian memiliki kelebihan dan kelemahan sebaliknya. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan jika guru akan membuat soal objektif maupun uraian, diantaranya:
a. Soal bentuk benar-salah
  • Diusahakan jumlah kunci jawaban B dan S seimbang (tidak harus sama).
  • Usahakan jumlahnya lebih dari 50 butir soal agar dapat memenuhi validitas isi.
  • Hindarkan pernyataan yang terlalu umum dan kompleks.
  • Hindarkan kata yang berarti tak tentu, seperti umumnya, biasanya, kebanyakan.
 b. Soal bentuk menjodohkan
  • Jumlah butir alternatif jawaban dibuat lebih banyak.
  • Jumlah butir soal maksimal 5 dan jumlah butir alternatif jawaban maksimal 7.
  • Usahakan butir soal dan butir alternatif mengenai hal yang homogen.
 c. Soal bentuk pilihan ganda
  • Memenuhi kualitas dari aspek konstruksi, seperti tidak menggunakan kalimat negatif (apalagi negatif ganda), pertanyaan harus tegas/tidak meragukan, tidak boleh menje-bak (misal memberi data yang sebenarnya tidak digunakan dalam perhitungan), dan butir soal tidak bergantung pada butir sebelumnya (merugikan siswa).
  • Memenuhi kualitas dari aspek bahasa, seperti kalimat yang komunikatif, tidak menimbulkan penafsiran ganda, menggunakan bahasa umum yang baku, dan meng-hindari penggunaan kata yang bermakna tidak tentu, misal kebanyakan, seringkali, kadang-kadang, pada umumnya.
  • Petunjuk tidak boleh menggunakan kata “paling benar”, karena soal objektif tidak mengenal gradasi kebenaran.
  • Kalimat soal (stem) lebih panjang daripada kalimat pada option.
  • Panjang option homogen.
  • Pola jawaban kunci tidak saistematis/teratur.

d. Soal uraian
Soal uraian dikatakan soal subjektif karena besar kemungkinan masuknya unsur pribadi dalam proses koreksi atau penilaian oleh berbagai sebab, seperti jawaban yang tidak tentu (terutama pertanyaan yang memerlukan penalaran dalam menjawab), faktor kenal peserta didik, tulisan, dan suasana hati. Oleh karena itu ketika kita memilih soal uraian, maka perlu mengetahui cara-cara untuk meminimalisir subjektivitas tersebut, diantaranya:
  • Dibuat pedoman penskoran. Penskoran dilakukan pada setiap langkah pengerjaan.
  • Bobot skor untuk setiap butir instrumen ditentukan berdasarkan tingkat kesulitan butir instrumen.
  • Soal yang teoretis ditetapkan kata kunci yang harus ada dalam jawaban peserta didik.
  • Mengoreksi nomor yang sama secara berurutan pada semua lembar jawaban.
  • Menyelesaikan koreksi dalam waktu yang sama atau berhenti mengoreksi pada nomor soal yang sama, karena suasana hati mempengaruhi hasil penilaian.
  • Menutup identitas.
  • Menghindari kata tanya “Menurut pendapat Anda”, “Apa yang Anda ketahui”, “Sejauh-mana”, “Bolehkah/Dapatkah”, jika tidak menginginkan pendapat peserta didik sendiri.

4. Instrumen Penilaian Non Ujian/Non-tes
Hasil belajar dapat berupa pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pengetahuan teoretis dapat dinilai dengan instrumen penilaian soal tertulis atau lisan, keterampilan dapat dinilai dengan soal tindakan/perbuatan, sedangkan perubahan sikap dan pertumbuhan peserta didik hanya dapat dinilai dengan teknik penilaian non-ujian.
Teknik penilaian non-ujian terutama digunakan untuk menilai hasil belajar pada kompetensi afektif, yang berupa perubahan sikap, minat, nilai, dan konsep diri. Teknik penilaian non-ujian juga digunakan untuk menilai hasil belajar pada kompetensi kognitif dan kompetensi psikomotor. Teknik penilaian  non-ujian berupa teknik penilaian observasi, wawancara, dan angket. Instrumen penilaian non-ujian dapat berupa pedoman observasi, daftar cek, dan skala lajuan, pedoman wawancara, dan lembar angket.
Selama ini guru SD khususnya kurang diperkenalkan mengenai bentuk-bentuk instrumen penilaian non ujian atau non-tes, apalagi diperkenalkan cara menyusunnya. Hal ini disebabkan penilaian terhadap aspek afektif dianggap dapat dilakukan hanya dengan mengamati tingkah laku peserta didik setiap hari, atau cukup dengan melihat catatan pada guru BP. Padahal aspek afektif yang dimaksud tidak semata-mata berkaitan dengan kenakalan dan kedisiplinan, tetapi juga berkaitan dengan sikap, minat, motivasi, nilai, dan konsep diri yang dapat menghambat proses belajar mereka.
Langkah-langkah yang harus dilakukan guru jika ingin mengembangkan dan menyusun sendiri instrumen non-tes ini adalah:
1.    Mencari teori tentang aspek afektif yang akan dinilai atau setidaknya definisinya.
2.    Teori/definisi tersebut digunakan sebagai acuan untuk menjabarkan menjadi kriteria yang kemudian dibuat indikator dan pernyataan/pertanyaan dalam lembar instrumen yang akan dibuat.
3.    Satu indikator dapat dijabarkan lebih dari satu pertanyaan/pernyataan.
4.    Untuk mengatasi kelemahan angket, maka dapat dibuat pernyataan ganda (positif dan negatif) yang berfungsi mengecek konsistensi responden dalam menjawab.
5.    Jika menggunakan skala likert, harus diberi pedoman untuk setiap kriteria, misal sangat baik jika …………
6.    Pengubahan skor ke nilai tergantung yang diinginkan, misalkan untuk skala likert 5 dengan pernyataan positif angket sebanyak 20, maka skor maksimal 5 x 20, jika ingin diubah % dapat dilakukan dengan menghitung skor responden/skor maksimal x 100%.

5. Instrumen Penilaian Alternatif
Timbulnya penilaian alternatif didasarkan pada teori inteligensi jamak (multiple-intelligents) dari  Howard Gardner (1980). Selama ini penilaian selalu ditujukan pada dua kemampuan dasar peserta didik, yaitu logical-mathematical danverbal-linguistic, padahal kemampuan peserta didik bersifat jamak (banyak). Teori inteligensi jamak menimbulkan usaha untuk melakukan penilaian hasil belajar dengan spektrum objek yang lebih luas, yaitu penilaian alternatif.
Penilaian dengan kertas dan pensil disebut penilaian tradisional yang sering dipertentangkan dengan penilaian alternatif (alternative assesment) atau penilaian otentik (outentic assesment). Penilaian alternatif adalah teknik penilaian non-tradisional yang menggunakan instrumen penilaian bervariasi, antara lain, kumpulan hasil karya peserta didik (portofolio), hasil kerja peserta didik (produk), penugasan terhadap peserta didik (proyek), dan kinerja peserta didik (performance).
Instrumen  penilaian alternatif  berupa tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik dan dapat berbentuk tugas menyusun  portofolio, mengembangkan suatu  produk, melaksanakan suatu  proyek, dan melakukan suatu unjuk kerja (performance).
Portofolio adalah kumpulan hasil karya peserta didik seperti karangan, lukisan, herbarium, dan lain-lain. Tugas menyusun portofolio dalam satu semester yang menghasil-kan suatu portofolio itulah yang merupakan instrumen penilaian portofolio. Tidak semua kumpulan hasil karya peserta didik yang berbentuk portofolio dapat dipakai sebagai penilaian portofolio. Hanya karya yang benar-benar disusun peserta didik sendiri yang dapat dikategorikan sebagai portofolio.
Tugas mengembangkan suatu produk, misalnya produk yang berupa gambar atau benda-benda model. Tugas melaksanakan suatu proyek yang dapat diberikan kepada peserta didik sangat bervariasi, misalnya merancang alat untuk menunjukkan pernafasan tumbuhan, merancang alat untuk menunjukkan sifat magnet. Tugas melakukan suatu kiner-ja peserta didik misalnya melakukan praktik unjuk kerja sifat konduktor alat-alat yang terbuat dari logam. Penilaian alternatif dilakukan terhadap proses dan hasilnya.

C. PENUTUP
Penilaian merupakan salah satu komponen penting yang harus dilakukan guru untuk mengetahui berhasil tidaknya proses pembelajaran yang telah dilakukan. Meskipun guru SD merupakan guru kelas yang mengampu lebih dari satu mata pelajaran, namun dengan niat dan kemauan yang kuat, tentu masih dapat menyisihkan sebagian waktunya untuk berlatih mengembangkan instrumen penilaian sendiri. Melakukan segala sesuatu yang belum biasa memang sulit dan berat, tetapi jika sudah terbiasa menjadi mudah dan ringan. Jika tetap merasa kesulitan, maka dapat dicoba secara berkelompok. Semboyan ringan sama dijinjing berat sama dipikul perlu diterapkan, jangan malah ringan sama dijinjing berat sama-sama ditinggalkan. Cobalah berulang-ulang, pasti akhirnya bisa. Percayalah!

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W. and David R. Krathwohl. (2001). A Taxonomy for Learning,  Teaching, and Assessing. New York: Longman.
 Cizek, G. J. (2000). Pockets of Resistance in the Assessment Revolution, Educational Measurement : Issues and Practice. Summer 2000. Volum 19, Number 2.
 Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited.
 Depdiknas. (1999). Pengelolaan Pengujian bagi Guru Mata Pelajaran. Jakarta: Depdiknas.
 _________. (2003). Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan         Nasional (Sisdiknas).Bandung: Citra Umbara.
 _________. (2005). Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang         Guru dan Dosen. Jakarta : Depdiknas.
 _________. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005            tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
 Gronlund, N. E .  (1981). Measurement and Evaluation in Teaching, 5th Ed. New York: MacMillan Publishing Co.
 Sudiyono, Anas. (1998). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
 Sukardjo. (2007). Penilaian Hasil Belajar Kimia (Naskah Buku). Yogyakarta: FMIPA         Universitas Negeri Yogyakarta.




CONTOH PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI KARAKTER

KARAKTER: KEDEMOKRATISAN
DEFINISI
Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

KRITERIA
1.    Cara berpikir berdasarkan persamaan hak dan kewajiban
2.    Cara bersikap berdasarkan persamaan hak dan kewajiban
3.    Cara bertindak berdasarkan persamaan hak dan kewajiban

INDIKATOR
1.    Menghargai pendapat anggota kelompok diskusi
2.    Melakukan voting dalam memutuskan pemecahan masalah yang didiskusikan
3.    Berani mengeluarkan pendapat meski tidak sejalan dengan anggota kelompok
4.    Menengahi jika ada selisih pendapat antar anggota kelompok
5.    Mempresentasikan hasil diskusi sesuai dengan masukan anggota kelompok

INSTRUMEN EVALUASI (LEMBAR ANGKET)

Nomor Indikator
Pernyataan
Kriteria
STS
TS
R
S
SS
1
Saya mendengarkan dengan baik pendapat teman, meski belum tentu pendapatnya benar.
Saya menginginkan pendapat saya diterima-
2
Ketika semua berpendapat, maka saya berharap se-mua pendapat ditulis tanpa melihat kebenarannya.
Menurut saya, pendapat yang benar langsung dipa-kai tanpa perlu voting.
3
Saya berusaha mengemukakan pendapat dalam setiap diskusi, tanpa mengharuskan harus diterima pendapat saya.
Saya selalu diam dalam diskusi karena takut penda-pat saya tidak diterima.
Saya lebih baik menunggu pendapat teman yang pandai daripada berpendapat sendiri yang belum tentu benar.
4
Saya senang melihat teman saya berselisih paham.
Saya berusaha menengahi ketika teman berselisih paham.
5
Jika saya yang maju, maka hanya saya presentasikan pendapat dari teman yang saya suka.
Apapun isinya, semua hasil diskusi yang telah disepa-kati dalam kelompok saya bacakan dengan baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar